Sekilas Pandang

Yogyakarta telah dikenal luas dengan ragam seni dan budaya, namun di balik itu ia juga menyimpan kekayaan alam yang tidak ternilai harganya, salah satunya adalah Gumuk Pasir Parangtritis. Gumuk pasir ini telah ditetapkan sebagai situs warisan geologi (geoheritage) bertaraf internasional karena keunikan bentang alamnya. Selain bentang alam, gumuk pasir ini memiliki nilai historis yang tinggi sebagai bagian dari sumbu filosofi dan sumbu imajiner dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang membentang dari Gunung Merapi hingga laut selatan.

Gumuk Pasir yang terletak di pesisir selatan Daerah Istimewa Yogyakarta ini telah terbentuk dalam kurun waktu yang lama, namun kini keberadaannya terganggu oleh tekanan terhadap ekosistem alaminya. Dalam mendukung upaya pelestarian gumuk pasir, Parangtritis Geomaritime Science Park melakukan kegiatan monitoring Kawasan Kagungan Dalem Gumuk Pasir Barkhan Parangtritis. Upaya ini turut menjadi acuan bagi studi keberadaan gumuk pasir lain di Indonesia yang terdapat di Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, dan Jawa Barat.

Keistimewaan Gumuk Pasir

Sumbu Filosofi Keraton Ngayogyakarta

Sultan Hamengku Buwana I merancang Yogyakarta dengan landasan filosofi yang sangat tinggi. Penataan Kota Yogyakarta menempatkan Kraton Yogyakarta sebagai pusatnya. Di sebelah utara Kraton Yogyakarta didirikan Tugu Golong-gilig (Pal Putih), sementara di sebelah selatan didirikan Panggung Krapyak. Apabila ketiganya ditarik garis lurus maka akan membentuk garis imajiner yang sering disebut sebagai sumbu filosofi Yogyakarta.

Sumbu filosofi Yogyakarta melambangkan konsep Sangkan Paraning Dumadi, yaitu asal dan tujuan penciptaan manusia. Jalur Panggung Krapyak menuju Pal Putih memiliki filosofi perjalanan hidup manusia mulai dari dalam kandungan hingga dewasa. Jalur Pal Putih menuju Panggung Krapyak memiliki arti perjalanan kehidupan dari masa dewasa sampai kembali pencipta. Kraton yang berada di tengah melambangkan manusia yang mapan dan dewasa. Tata ruang sumbu filosofi mengekspresikan interaksi sosial—alam—spiritual dan toleransi. Sumbu filosofi Panggung Krapyak—Kraton Yogyakarta—Pal Putih merupakan gambaran mikrokosmos, yaitu proses kehidupan nyata manusia selama hidup.

Sumbu Imajiner Merapi—Keraton—Parangtritis

Tata ruang Yogyakarta yang didesain secara langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I memiliki konsep yang unik, yaitu mengatur tata kota yang jika ditarik garis lurus menjadi sebuah sumbu imajiner. Sumbu imajiner menghubungkan titik utara dan selatan Yogyakarta, yakni Gunung Merapi dan laut selatan. Garis lurus yang menghubungkan Gunung Merapi—Pal Putih—Kraton Yogyakarta—Panggung Krapyak—laut selatan merupakan gambaran makrokosmos hubungan antara sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan atau yang sering dikenal dengan konsep Manunggaling Kawula Gusti.

Dari sudut pandang ilmu geomorfologi, Gunung Merapi berbentuk kerucut sempurna yang dibangun oleh hasil aktivitasnya sendiri, sedangkan laut selatan merupakan titik sumbu filosofi paling selatan yang menjadi muara bagi material Gunung Merapi yang terbawa oleh aliran sungai. Gunung Merapi sebagai titik tertinggi dan laut selatan sebagai titik terendah melambangkan sikap manusia yang seiring berjalannya waktu akan semakin dekat dengan Sang Pencipta, berawal dari Gunung Merapi sebagai api dan berakhir di laut selatan sebagai air. Air dan api tak hanya sekedar garis imajiner tetapi juga simbolisasi keharmonisan elemen dalam alam yang merupakan wujud kearifan lokal masyarakat Yogyakarta.

Keistimewaan Gumuk Pasir

Sumbu Filosofi Keraton Ngayogyakarta

Sultan Hamengku Buwana I merancang Yogyakarta dengan landasan filosofi yang sangat tinggi. Penataan Kota Yogyakarta menempatkan Kraton Yogyakarta sebagai pusatnya. Di sebelah utara Kraton Yogyakarta didirikan Tugu Golong-gilig (Pal Putih), sementara di sebelah selatan didirikan Panggung Krapyak. Apabila ketiganya ditarik garis lurus maka akan membentuk garis imajiner yang sering disebut sebagai sumbu filosofi Yogyakarta.

Sumbu filosofi Yogyakarta melambangkan konsep Sangkan Paraning Dumadi, yaitu asal dan tujuan penciptaan manusia. Jalur Panggung Krapyak menuju Pal Putih memiliki filosofi perjalanan hidup manusia mulai dari dalam kandungan hingga dewasa. Jalur Pal Putih menuju Panggung Krapyak memiliki arti perjalanan kehidupan dari masa dewasa sampai kembali pencipta. Kraton yang berada di tengah melambangkan manusia yang mapan dan dewasa. Tata ruang sumbu filosofi mengekspresikan interaksi sosial—alam—spiritual dan toleransi. Sumbu filosofi Panggung Krapyak—Kraton Yogyakarta—Pal Putih merupakan gambaran mikrokosmos, yaitu proses kehidupan nyata manusia selama hidup.

Sumbu Imajiner Merapi—Keraton—Parangtritis

Tata ruang Yogyakarta yang didesain secara langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I memiliki konsep yang unik, yaitu mengatur tata kota yang jika ditarik garis lurus menjadi sebuah sumbu imajiner. Sumbu imajiner menghubungkan titik utara dan selatan Yogyakarta, yakni Gunung Merapi dan laut selatan. Garis lurus yang menghubungkan Gunung Merapi—Pal Putih—Kraton Yogyakarta—Panggung Krapyak—laut selatan merupakan gambaran makrokosmos hubungan antara sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan atau yang sering dikenal dengan konsep Manunggaling Kawula Gusti.

Dari sudut pandang ilmu geomorfologi, Gunung Merapi berbentuk kerucut sempurna yang dibangun oleh hasil aktivitasnya sendiri, sedangkan laut selatan merupakan titik sumbu filosofi paling selatan yang menjadi muara bagi material Gunung Merapi yang terbawa oleh aliran sungai. Gunung Merapi sebagai titik tertinggi dan laut selatan sebagai titik terendah melambangkan sikap manusia yang seiring berjalannya waktu akan semakin dekat dengan Sang Pencipta, berawal dari Gunung Merapi sebagai api dan berakhir di laut selatan sebagai air. Air dan api tak hanya sekedar garis imajiner tetapi juga simbolisasi keharmonisan elemen dalam alam yang merupakan wujud kearifan lokal masyarakat Yogyakarta.

Dalam Rekaman Lensa

Zonasi Gumuk Pasir Parangtritis

Istilah gumuk pasir berasal dari bahasa Jawa yang berarti gundukan, sehingga gumuk pasir dapat diartikan sebagai gundukan-gundukan pasir yang terhampar luas dan terbentuk secara dinamis/mudah berubah.

Seiring berjalannya waktu, perubahan tata guna lahan oleh permukiman maupun aktivitas penduduk di kawasan sekitar pesisir Parangtritis semakin masif sehingga mengganggu keberadaan gumuk pasir karena terhalangnya ruang pergerakan angin untuk mengangkut pasir ke arah darat. Ruang pergerakan angin tersebut dikenal sebagai lorong angin. Apabila lorong angin tertutup oleh adanya bangunan/vegetasi, maka pasokan pasir pun akan terhenti dan gumuk pasir tidak akan terbentuk. Melihat hal tersebut, maka pada tahun 2015 Badan Informasi Geospasial bersama dengan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada menyusun sebuah kajian tentang zonasi peruntukan ruang di kawasan Gumuk Pasir Parangtritis untuk mempertahankan keberadaan gumuk pasir tersebut dari ancaman alih fungsi lahan.

Penentuan zonasi dilakukan dengan komparasi foto udara tahun 1976 dan 2015. Pada foto udara 1976, kawasan Gumuk Pasir Parangtritis merupakan seluruh area yang tertimbun oleh material pasir seluas 412,8 hektar di antara tebing di sisi timur Parangkusumo hingga muara Opak di sisi barat, serta lahan pertanian di sisi utara dan gisik pantai di sisi selatan. Area dengan dinamika pembentukan gumuk pasir tertinggi kemudian digolongkan sebagai zona inti, yang terletak di bagian tengah kawasan dengan luas 141,1 hektar. Zona inti ditetapkan/diperuntukkan sebagai zona konservasi untuk mempertahankan keberadaan gumuk pasir di masa mendatang.

Sementara, area di sebalah timur seluas 95,3 hektar yang mengalami perubahan tata guna lahan paling intensif digolongkan sebagai zona peruntukan terbatas, mempertimbangkan kondisinya yang telah berkembang sebagai kawasan permukiman dan pusat ekonomi pariwisata. Area di sebelah barat seluas 176,4 hektar digolongkan sebagai zona penunjang, yang dapat difungsikan sebagai sarana relokasi kegiatan masyarakat (yang sebelumnya berada di zona inti) dan kegiatan yang mendukung keberadaan zona inti. Setiap zonasi perlu mempertimbangkan batasan komposisi jenis penggunaan lahan sehingga keberlanjutan gumuk pasir dapat tetap terjaga.

Gumuk Pasir Parangtritis dari Udara

Foto udara 1976 menjadi bukti kejayaan Gumuk Pasir Parangtritis pada masanya dengan luasan yang menutupi seluruh kawasan pesisir di Parangtritis. Warga sekitar bahkan menuturkan, gumuk pasir ini kerap membuat orang asing tersesat bila menyusurinya terlalu jauh. Ia juga merupakan tempat bagi banyak fauna endemik yang mulai sulit ditemukan saat ini. Dari kesaksian tersebut dapat kita bayangkan gumuk pasir di Parangtritis menjadi sebuah habitat berkembangnya ekosistem unik serupa gurun pasir di Afrika atau Timur tengah.

Sejak dahulu kawasan Parangtritis juga menjadi magnet bagi wisatawan dari luar daerah. Kendati aksesibilitas ke wilayah Parangtritis terbilang susah, tetap saja ada wisatawan yang datang berkunjung. Setelah jembatan kretek I yang melintasi Sungai Opak sebagai satu-satunya penghubung wilayah Parangtritis dengan Bantul selesai dibangun pada kurun 1989/1990, Parangtritis pun kian ramai dikunjungi. Panorama alam menjadi daya tarik wisatawan yang diikuti dengan pesatnya perkembangan pembangunan di kawasan pesisir. Di sisi lain, geliat ekonomi dan pariwisata semakin mendesak perkembangan gumuk pasir. Ironisnya, semakin lama gumuk pasir dianggap sebagai ancaman bagi keberlangsungan ekonomi setempat, sehingga perkembangannya harus dihambat. Salah satunya dengan menanam pohon-pohon di area pantai sebagai penghalang angin.

Alih fungsi lahan mulai terlihat dari foto udara tahun 1992 milik Badan Informasi Geospasial. Di kawasan pantai Parangtritis mulai banyak bangunan yang difungsikan sebagai area perdagangan dan pendukung pariwisata. Di antara Pantai Parangkusumo (timur) sampai Pantai Depok (barat), dibangun jalan penghubung yang membelah sisi selatan gumuk pasir. Lahan pertanian warga juga mulai muncul di sisi barat gumuk pasir yang tampak dengan pola persegi. Pola-pola persegi ini merupakan bentukan dari tanaman penghalang yang ditanam petani sebagai pembatas dan penghalau material pasir yang terbawa oleh angin. Foto udara tahun 2009-2011 menunjukkan kawasan gumuk pasir semakin hijau dipenuhi vegetasi dan semakin padat oleh bangunan. Akan tetapi pada area yang saat ini dikenal sebagai zona inti tutupan material pasir masih sangat terjaga, sebab area ini merupakan lorong angin yang secara intensif mengangkut pasir.

Pada foto udara tahun 2014 mulai terjadi penanaman pohon cemara udang di bagian selatan zona inti, yang berakibat pada menurunnya suplai material pasir sehingga area tutupan pasir semakin sempit. Foto udara tahun 2019 memperlihatkan area hijau pada zona inti bagian selatan semakin luas, menandakan area utama penyuplai material pasir untuk menyokong keberlangsungan gumuk pasir mulai tertutup rapat oleh tanaman cemara udang. Kondisi tersebut semakin mempersempit area tutupan pasir pada zona inti. Jika hal tersebut dibiarkan berlangsung terus-menerus, bukan tidak mungkin keberadaan Gumuk Pasir Parangtritis akan sirna dan hanya akan tinggal cerita.

Kini pilihan tersebut ada pada kita, apakah akan membiarkan atau mengembalikan kondisi gumuk pasir kepada kejayaannya seperti di masa lampau (dengan cara restorasi)?

Upaya Pelestarian

Monitoring Gumuk Pasir Parangtritis

Kondisi Gumuk Pasir Parangtritis yang semakin terancam membutuhkan kebijakan strategis dalam secara tepat bentuk restorasi. Oleh karenanya, Parangtritis Geomaritime Science Park melakukan kegiatan monitoring gumuk pasir dalam upaya penyediaan data dan informasi geospasial secara multitemporal di kawasan Gumuk Pasir Parangtritis.

Kegiatan monitoring dilakukan secara komprehensif, meliputi pemotretan udara dengan pesawat udara nirawak (unmanned aerial vehicle), dipadukan dengan pengukuran 30 titik ikat tanah (ground control points) yang tersebar di kawasan gumuk pasir, serta proses mosaik foto secara teliti sehingga menghasilkan foto udara tegak resolusi sangat tinggi beserta model elevasi digitalnya. Monitoring Gumuk Pasir Parangtritis telah dilaksanakan beberapa kali dan menghasilkan foto udara tahun perekaman 2011, 2014, 2015, 2017 dan sejak 2019 dilakukan secara kontinu setahun sekali.

Hasil monitoring tersebut menjadi masukan bagi pemangku kepentingan baik di level teknis maupun kebijakan dalam mengambil langkah terbaik dalam agenda restorasi gumuk pasir di Parangtritis.

Survei dan Pemetaan

Kegiatan rutin lain yang turut dilakukan di kawasan Gumuk Pasir Parangtritis meliputi survei dan pemetaan. Dalam menyajikan informasi geospasial yang tepat guna dan aplikatif, Parangtritis Geomaritime Science Park melaksanakan dua kegiatan utama yaitu pemetaan penggunaan lahan dan pemetaan status kondisi Gumuk Pasir Parangtritis berdasarkan foto udara hasil monitoring dan hasil survei lapangan.

Melalui serangkaian proses baik analisis, studi literatur, diskusi dengan pakar, serta dipadukan dengan survei penggunaan lahan terkini sebagai bahan uji akurasi (field assessment), maka dihasilkan Peta Penggunaan Lahan Gumuk Pasir Parangtritis multitemporal dalam tiap tahun pemotretan udara. Sementara, survei lebih yang kompleks, meliputi lima parameter fisik yaitu pengukuran angin dan transpor material pasir serta pengambilan sampel berdasarkan variasi bentuklahan aeolian, komposisi material pasir, dan ukuran butir pasir menjadi data utama dalam menghasilkan Peta Status Kondisi Gumuk Pasir Parangtritis.

Pendampingan Masyarakat

Untuk meningkatkan peran serta masyarakat sekitar dalam upaya restorasi, Parangtritis Geomaritime Science Park merangkul masyarakat di sekitar Kawasan Gumuk Pasir Parangtritis dengan menyelenggarakan beberapa kegiatan sebagai wujud tanggung jawab sosial/corporate social responsibility dalam memberikan manfaat terkait keberadaan informasi geospasial dan upaya restorasi gumuk pasir Parangtritis. Kegiatan yang telah dilaksanakan yakni workshop peran Sistem Informasi Geospasial dan aplikasi GPS untuk pemetaan tematik bagi Karang Taruna setempat, workshop informasi geospasial untuk kearifan lokal sebagai sarana pemberdayaan masyarakat bagi kelompok penggerak kesejahteraan keluarga, workshop pengelolaan sampah pesisir bagi pelajar sekolah menengah pertama, serta kegiatan rutin tahunan yang dikemas dalam festival gumuk pasir bagi masyarakat Parangtritis.

Dari serangkaian kegiatan tersebut, masyarakat menjadi lebih dekat dan lebih mengenal Parangtritis Geomaritime Science Park sebagai pendamping masyarakat untuk dapat maju bersama menjaga keberadaan gumuk pasir Parangtritis. Harapannya masyarakat pun dapat turut berperan sebagai agen perubahan dari setiap upaya baik yang dilaksanakan PGSP dalam mengenalkan Informasi Geospasial dan menjaga keberlanjutan Gumuk Pasir Parangtritis.

Informasi Geospasial

Peta Penggunaan Lahan Gumuk Pasir Parangtritis

Di kawasan Gumuk Pasir Parangtritis seluas 412,8 hektar terdapat 22 jenis peruntukan lahan, antara lain gumuk pasir, semak/belukar, hutan, lahan terbuka (selain pasir), permukiman, pertanian, beting gisik, pariwisata, jalan lokal, sempadan jalan, tambak, pasar, jalan setapak, peternakan, perkantoran, sungai, landasan penerbangan, jalan utama, olahraga, kolam, peribadahan dan pengelolaan limbah, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

Dapat kita amati bahwa fungsi lahan gumuk pasir hanya seluas 20,9 hektar, atau hanya sebesar 5,1 persen dari total luas kawasan gumuk pasir. Dengan kata lain, kawasan ini telah didominasi oleh fungsi lahan lainnya. Fungsi lahan paling dominan antara lain semak/belukar 99,3 hektar (24,1 persen), hutan 80,4 hektar (19,5 persen), lahan terbuka (selain pasir) 64 hektar (15,5 persen), dan permukiman 43,5 hektar (10,5 persen). Dilihat dari Peta Penggunaan Lahan Kawasan Gumuk Pasir tahun 2021, semak belukar paling luas ditemukan di zona inti, sementara hutan dan lahan terbuka (selain pasir) paling luas berada di zona penunjang, sedangkan permukiman terluas berada pada zona terbatas.

Hasil analisis temporal penggunaan lahan pada kawasan gumuk pasir menggunakan citra penginderaan jauh diperoleh hasil sebagai berikut.

Jika dibandingkan dengan luasan pada tahun 1972, luas gumuk pasir telah jauh berkurang dari 406,08 hektar (98,3 persen) menjadi hanya sebesar 61,47 hektar (14,9 persen) pada tahun 2018 dengan rata-rata penyusutan luas sebesar 7,74 hektar per tahun. Analisis tersebut dapat digunakan sebagai proyeksi luasan gumuk pasir pada tahun selanjutnya, yang mengindikasikan bahwa tanpa adanya upaya konservasi dalam kurun 8 tahun setelah 2018 maka Gumuk Pasir Parangtritis akan punah.

Peta Status Kondisi Gumuk Pasir Parangtritis

Peta status kondisi gumuk pasir merupakan informasi geospasial yang menunjukkan kondisi gumuk pasir terkini berdasarkan lima parameter, yaitu variasi bentuklahan aeolian, transport material pasir, komposisi material pasir dan ukuran butir pasir. Kelima parameter tersebut dianalisis menghasilkan tiga level kondisi gumuk pasir, yaitu baik, sedang dan buruk.

Hasil analisis menunjukkan Gumuk Pasir Parangtritis yang berada pada kondisi yang buruk seluas 236 hektar atau sebesar 57,2 persen yang disimbolkan oleh warna merah pada peta. Kondisi buruk menandakan bahwa tidak terjadi proses pembentukan gumuk pasir pada area tersebut berdasarkan parameter yang telah disebutkan di atas. Sementara, warna kuning menunjukkan kondisi gumuk pasir dalam keadaan sedang seluas 153,9 hektar atau sebesar 37,3 persen, yang menandakan masih memungkinkan terjadi proses pembentukan gumuk pasir pada area tersebut namun tidak intensif.

Kondisi baik ditunjukkan dengan warna hijau pada peta seluas 22,9 hektar atau hanya sebesar 5.5 persen dari total luasan. Sebaran kondisi ini secara umum berada di zona inti di sebelah timur batas zona penunjang dan sedikit di sebelah timur di zona terbatas. Kondisi sedang mendominasi zona penunjang, sedangkan kondisi buruk terluas berada pada zona terbatas. Berdasarkan peta tersebut dapat disimpulkan bahwa proses pembentukan gumuk pasir di Parangtritis tidak terjadi di sebagian besar kawasan.

× Chat Whatsapp